Rabu, 28 Maret 2018

Berau Tempat Kelahiranku

Berkas:Coat of arms of Berau Regency.svgKabupaten Berau adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan TimurIndonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Tanjung Redeb. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 34.127,47 km² dan berpenduduk sebesar kurang lebih 179.079 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).Kabupaten Berau berasal dari Kesultanan Berau yang didirikan sekitar abad ke-14. Menurut sejarah Berau, Raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Surya Nata Kesuma dan Isterinya bernama Baddit Kurindandengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahan kerajaan pada awalnya berkedudukan di Sungai Lati (sekarang menjadi lokasi pertambangan Batu Bara PT. Berau Coal).
Aji Raden Suryanata Kesuma menjalankan masa pemerintahannya tahun 14001432 dengan adil dan bijaksana, sehingga kesejahteraan rakyatnya meningkat. Pada masa itu dia berhasil menyatukan wilayah pemukiman masyarakat Berau yang disebut Banua, yaitu Banua MerancangBanua PantaiBanua KuranBanua Rantau Buyut dan Banua Rantau Sewakung.
Di samping kewibawaannya, kedudukan Aji Raden Suryanata Kesuma juga sangat berpengaruh, menjadikan dia disegani lawan maupun kawan. Untuk mengenang jasa Raja Berau yang pertama ini, Pemerintah telah mengabdikannya sebagai nama Korem 091 Aji Raden Surya Nata Kesuma yang Rayon Militer Kodam VI/TPR.
Setelah dia wafat, Pemerintahan Kesultanan Berau dilanjutkan oleh putranya dan selanjutnya secara turun temurun keturunannya memerintah sampai pada sekitar abad ke-17. Kemudian awal sekitar abad XVIII datanglah penjajah Belanda memasuki kerajaan Berau dengan berkedok sebagai pedagang (VOC). Namun kegiatan itu dilakukan dengan politik De Vide Et Impera (politik adu domba). Kelicikan Belanda berhasil memecah belah Kerajaan Berau, sehingga kerajaan terpecah menjadi 2 Kesultanan yaitu Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.
Pada saat bersamaan masuk pula ajaran agama Islam ke Berau yang dibawa oleh Imam Sambuayan dengan pusat penyebarannya di sekitar Sukan. Sultan pertama di Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam yang bergelar Alimuddin (18001852). Raja Alam terkenal pimpinan yang gigih menentang penjajah belanda. Raja Alam pernah ditawan dan diasingkan ke Makassar (dahulu Ujung Pandang). Untuk mengenang jiwa Patriot Raja Alam namanya diabadikan menjadi Batalyon 613 Raja Alam yang berkedudukan di Kota Tarakan.
Sedangkan Kesultanan Gunung Tabur sebagai Sultan pertamanya adalah Sultan Muhammad Zainal Abidin (18001833), keturunannya meneruskan pemerintahan hingga kepada Sultan Achmad Maulana Chalifatullah Djalaluddin (wafat 15 April1951) dan Sultan terakhir adalah Aji Raden Muhammad Ayub (19511960). Kemudian wilayah kesultanan tersebut menjadi bagian dari Kabupaten Berau.
Sultan Muhammad Amminuddin menjadi Kepala Daerah Istimewa Berau. Dia memerintah sampai dengan adanya peraturan peralihan dari Daerah Istimewa menjadi Kabupaten Dati II Berau, yaitu Undang-undang Darurat tahun 1953 Tanggal terbitnya Undang-undang tersebut dijadikan sebagai Hari jadi Kabupaten Berau. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 27 tahun 1959, Daerah Istimewa Berau berubah menjadi kabupaten Dati II Berau dan Tanjung Redeb sebagai Ibukotanya, dengan Sultan Aji Raden Muhammad Ayub (1960–1964) menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Berau yang pertama.
Penetapan Kota Tanjung Redeb sebagai pusat pemerintahan Dati II Kabupaten Berau adalah untuk mengenang pemerintahan Kerajaan (Kesultanan) di Berau. Di mana pada tahun 1810 Sultan Alimuddin (Raja Alam) memindahkan pusat pemerintahannya ke Kampung Gayamyang sekarang dikenal dengan nama Kampung Bugis. Perpindahan ke Kampung Bugis pada tanggal 25 September tahun 1810 itu menjadi cikal bakal berdirinya kota Tanjung Redeb, yaitu kemudian dibadikan sebagai Hari jadi Kota Tanjung Redeb sebagaimana diterapkan dalam Perda No. 3 tanggal 2 April 1992.
Lebih dari 80 jenis pohon di daerah Berau yang terdaftar terancam punah dalam daftar World Conservation Union (IUCN).
Teluk Berau yang merupakan bagian dari Laut Sulawesi terletak di sebuah rute migrasi utama bagi mamalia laut.
Di antara spesies hewan Berau terancam atau hampir punah adalah:
Terumbu karang Berau terletak 60 kilometer dari Semenanjung Berau dianggap sebagai salah satu tempat laut yang paling penting di Indonesia dan Pulau Derawan adalah bagian dari taman laut tersebut.

Objek wisata dan tempat penting

Berbagai tempat wisata yang ada di Kabupaten Berau adalah:

Pilkada Berau 2005

Sejak reformasi 1998 dan pemberlakuan otonomi daerah, Kabupaten Berau pertama kali menggelar pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah pada tahun 2005 dan terpilih Drs. H. Makmur HAPK dan Ir. H.A. Rifai sebagai pemenang pemilu kada untuk masa jabatan 5 tahun (20052010).
Nama PasanganPerolehan Suara[4]
Muharram–Wasisto23.484 suara (32,09 %)
Saukani–Abdul Kadir15.509 suara (21,19 %)
Makmur–Rifai34.188 suara (46,72 %)
Hasil rekapitulasi penghitungan suara pilkada Berau menunjukkan jumlah pemilih yang tak menggunakan haknya mencapai 18.626 jiwa atau sekitar 21 persen warga yang memilih golput dari total pemilih sebanyak 92.553 jiwa dan sebanyak 73.925 warga yang mencoblos.

Pilkada Berau 2010[sunting | sunting sumber]

Kemudian pada tahun 2010, pemilu kada Berau kembali digelar.
Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Berau 2010 hanya diikuti tiga pasangan calon. Mereka yang dinyatakan lolos adalah pasangan Soehartono Soetjipto–Liliansyah (Solusi), Makmur–Ahmad Rifai (MaRi) dan Hendry Gunawan–Amir Husin (Hebat) sebagai calon bupati dan wakil bupati. Pengumuman dilakukan di Sekretariat KPU pada tanggal 5 Mei 2010. Selain pengumuman pasangan calon yang lolos, tadi malam juga langsung dilakukan penentuan nomor urut. Untuk nomor urut 1 ditempati pasangan Makmur–Rifai (MaRi), nomor 2 pasangan Soehartono-Liliansyah atau Solusi dan pasangan Hendry–Amir atau pasangan yang dikenal dengan sebutan Hebat mendapat nomor urut 3.[5]
Pasangan MaRi didukung koalisi 10 partai politik (parpol) yang mempunyai kursi di Parlemen dan tidak mempunyai kursi, yaitu Partai GolkarPPPPartai DemokratPDIPPKBPKSPANPartai KedaulatanPartai Patriot dan PDK atau 20 kursi di Parlemen. Sedangkan pasangan Solusi didukung 11 parpol, yaitu PBBPartai HanuraPPDPDPPKPPartai BuruhPKNUPISPNBK IndonesiaPDS dan PNI Marhaenisme. Meskipun didukung koalisi 11 parpol, namun pasangan Solusi tidak dihitung berdasarkan kursi di Parlemen. Syarat pencalonan pasangan Solusi dihitung berdasarkan suara sah pemilihan Legislatif. Suara sah yang diperoleh sebanyak 12.709 suara. Untuk pasangan Hendry-Amir (Hebat) yang maju melalui jalur perseorangan, dinyatakan lolos setelah hasil verifikasi syarat pencalonan kedua mampu mengumpulkan jumlah dukungan sebanyak 7.544 warga. Sebelumnya pasangan Hebat telah mengumpulkan jumlah dukungan sebanyak 6.648 warga. Jadi, jika ditambahkan jumlah dukungan pertama dan kedua, pasangan Hebat mampu mengumpulkan jumlah dukungan sebanyak 14.192 warga. Sedangkan syarat minimal jumlah dukungan untuk calon perseorangan yang ditentukan KPUD sebanyak 11.304 warga. Selain syarat pencalonan, bakal calon yang mendaftar pun harus memenuhi syarat calon. Dari hasil verifikasi yang dilakukan pihaknya, syarat calon dari ketiga pasangan sudah dinyatakan memenuhi persyaratan.
Pencoblosan dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2010 dengan 390 unit TPS yang diperuntukkan kepada 123.676 pemilih terdaftar di 13 kecamatan di Berau.[6] Dalam pengamanan, Polres Berau mengerahkan 350 personel, dibantu Sat Brimobda Polda Kalimantan Timur sebanyak 105 personel, TNI sebanyak 120 personel dan 1.475 personel Linmas.[6]Kemudian pada tanggal 13 Juli 2010, KPU Berau menggelar rapat pleno terbuka penentuan rekapitulasi perolehan suara dan penetapan bupati dan wakil bupati terpilih periode 2010-2015 yang digelar di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Berau. Berikut ini adalah perolehan suara masing-masing kandidat berdasarkan hasil rekapitulasi pleno KPUD Berau.
No.Nama PasanganPerolehan Suara[7]
1Makmur–Rifai52.191 suara (65 %)
2Soehartono Soetjipto–Liliansyah25.088 suara (31 %)
3Hendry Gunawan–Amir Husin3.274 suara (4 %)
KPUD Berau memutuskan melalui nomor surat 29/Kpts/Kpu-Kab.Berau-021.436141/2010, tentang pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pada Pilkada Berau 2010 bahwa Drs H Makmur HAPK MM sebagai kepala daerah dan Ir H Ahmad Rifai MM sebagai wakil kepala daerah.[7] Namun, tim sukses kandidat nomor 2, Soehartono Soetjipto–Liliansyah menolak hasil perolehan suara dari KPUD karena ditengarai adanya kecurangan. Akhirnya, timses Soehartono Soetjipto–Liliansyah (atau juga disebut Timses Solusi) mengajukan gugatan mereka ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang sengketa Pilkada Berau 2010 digelar pada tanggal 29 Juli 2010.[8]
Dalam gugatannya, keduanya juga menuduh pasangan Makmur-Rifai telah memanfaatkan posisinya sebagai petahana, dengan cara merekrut tim sukses dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS), aparat pemerintah desa hingga RT, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dari hasil persidangan, menurut hakim, pemohon tak bisa menguraikan secara jelas keterkaitan dan keterlibatan para PNS tersebut hingga dinilai menguntungkan pasangan Makmur-Rifai.
Pada sidang yang kesekian kalinya pada tanggal 13 Agustus 2010, akhirnya MK memutuskan menolak semua gugatan Timses Solusi.[9] Soehartono Soetjipto–Liliansyah selaku ketua Timses Solusi menerima dengan lapang dada keputusan MK tersebut dan mengucapkan selamat kepada pemenang pilkada Makmur–Rifai.[10]
Pelantikan kandidat pemenang Pilkada Berau 2010 Makmur–Rifai dilaksanakan pada tanggal 15 September 2010.[11]

Kepala daerah[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah daftar nama-nama yang pernah memimpin Kabupaten Berau sejak tahun 1960:
No.FotoNamaPeriodeKeterangan
1.Sultan Aji Raden Muhammad Ayub1960–1964Bupati Kepala Daerah Tk. II Berau pertama
2....1964–...
...Drs. H. Masjuni1995–2000
2000–2005
Periode pertama
Periode kedua
...Drs. H. Makmur HAPK, MM2005–2010
2010–2015
Periode pertama
Periode kedua
...Syarifuddin8 Oktober 2015–16 Februari 2016Penjabat bupati
...H. Muharram, S.Pd, MM17 Februari 2016–sekarangBupati definitif


Kabupaten Berau Pesisir Selatan
[sunting | sunting sumber]

Kecamatan yang mungkin bergabung ke dalam kabupaten ini meliputi :
 Nah Itu adalah Skilas Tentang Tempat kelahiran ku ..Banyak Sekali tempat wisata wisata yang Tersebumnyi Dikabupaten ku Sini,Saya akan Menjelaskan Satu persatu Tentang Tempat Kelahiranku Sendiri ...Berau Termaksud kabupaten Terkaya diindonesia karena Dia Banyak Kegiatan Tambang Seperti Batu bara dan kelapa sawit jadi hasil Yang di poroleh dari itu di bagi hasil dengan pemerintah indonesia saya pernah baca ,,pokoknya banyak lah ..apa lagi tempat wisatanya banyak bangetttt hahahahahahahha...oke nanty saya semak satu persatu disni yah...Dimulai dari mana yah...dari kraton-kraton dulu okeee || simak baik2 dan baca semoga Lebih menambah wawasan kalian....


Kesultanan Sambaliung

Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil dari pemecahanKesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu ‎Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. S‎ultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddinyang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.

Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.

Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).

Sejarah

Kesultanan Gunung Tabur merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Awal mula perpecahan tersebut terjadi pada abad ke-17, yaitu ketika penjajah Belanda memasuki Kerajaan Berau dengan berkedok sebagai pedagang (VOC). Belanda kemudian menerapkan “devide et empera” (politik perpecahan) pada tahun 1810 yang menyebabkan Kerajaan Berau terpecah. Pecahnya kerajaan ini bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke Berau yang dibawa oleh Imam Sambuayan dengan pusat pe­nyebarannya di sekitar Desa Sukan, Kabupaten berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Sultan pertama yang berkuasa di Kesultanan Sambaliung adalah Raja Alam dengan gelar Alimuddin (1830-1836). Sebelum kesultanan ini berdiri, Raja Alam sebenarnya adalah sultan pertama di Kesultanan Batu Putih, yang berdiri pada tahun 1830. Pada tahun 1834/1836 nama Batu Putih berubah menjadi Tanjung,yang kemudian pada tahun 1849 berubah menjadi Sambaliung. Meski demikian, sejarah berdirinya Kesultanan Sambaliung sebenarnya sudah ada sejak tahun 1830.

Pada generasi Kesultanan Berau yang ke-9 (sayangnya data lengkapnya tidak ditemukan), di mana Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu, yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati. Sejak saat itu, Kesultanan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Dalam perjalanan sejarahnya, fakta tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat yang terkadang berujung pada perselisihan. Berdasarkan silsilah tersebut, Raja Alam merupakan cucu Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma (raja pertama Kerajaan Berau).

Raja Alam dikenal sebagai sultan yang sangat gigih dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Pada bulan September 1834 ia memimpin pasukannya bertempur melawan pasukan Belanda di laut dekat Batu Putih. Pihak Belanda menuduh Raja Alam telah bersekongkol dengan pelaut Bugis dan Sulu dari Mindanao Selatan yang menyebabkan perairan selat Makassar tidak aman. Akibatnya, sejak tahun 1834 hingga tahun 1837, ia ditawan dan diasingkan ke Makassar. Selama masa pengasingan, tahta kekuasaan Kesultanan Tanjung (Batu Putih) oleh Belanda diserahkan kepada Sultan Gunung Tabur, yang bertindak sebagai pelaksananya adalah Pangeran Muda dari Kutai, yaitu keluarga dari istri Raja Alam. Pada tanggal 15 September 1836, Raja Alam dapat kembali ke Berau setelah permintaan Aji Kuning Gunung Tabur dikabulkan oleh pemerintah Belanda.

Sekembalinya dari masa pembuangan, Raja Alam tetap konsisten melawan kolonialisme Belanda. Bahkan, ketika Belanda berusaha selama tujuh tahun membujuknya agar berubah pikiran untuk tidak lagi menyerang mereka, pendirian Raja Alam tetap bulat. Belanda akhirnya mengalah. Pada tahun 1844, Belanda mengakui eksistensi Kesultanan Tanjung. Namun, tetap saja Raja Alam tidak menerima pengakuan tersebut karena hal itu sama saja dengan bersedia di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Prinsip yang dianutnya adalah bahwa syariat Islam melarang mengangkat orang kafir (baca: pemerintah koloial Belanda) sebagai pimpinan.

Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangannya, namanya diabadikan sebagai nama Batalion 613 Raja Alam yang berkedudukan di Kotamadya Tarakan. Melalui SK No.007/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999, presiden RI kala itu telah menetapkan dirinya sebagai tokoh nasional yang berhak mendapat penganugerahan tanda kehormatan bintang jasa terhadap bangsa negara. Hanya saja, penganugerahan terhadap dirinya sebagai pahlawan nasional masih diperjuangkan oleh pemerintah daerah Kalimantan Timur agar disetujui oleh pemerintah pusat.

Fakta sejarah yang dapat membuktikan adanya kesultanan ini adalah istana Sambaliung yang terletak di tepi Sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung, Provinsi Kalimantan Timur. Istana ini telah menjadi museum yang juga merupakan salah satu obyek wisata yang menarik di Kalimantan Timur. Museum ini menyimpan jejak-jejak sejarah peninggalan Kesultanan Sambaliung. Di samping itu juga terdapat koleksi unik berupa dua tiang kayu ulin berukir aksara asli Suku Bugis yang letaknya berada di halaman depan museum. Koleksi ini dipercaya sebagai bentuk peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis Wajo. Aksara yang tertulis dalam tiang kayu tersebut merupakan aturan-aturan bagi rakyat jika akan melintasi keraton.

Perlawanan terhadap Belanda 

Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung nama lengkap Raja Alam sendiri ialah Sultan Alumuddin Raja Alam, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampung Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau, kakeknya bernama Sultan Hasanuddin Marhum  yang menikah dengan Dayang Lama anak dari raja Solok Pilipina Selatan. Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X. 

Campur tangan colonial terhadap kehidupan keraton makin meluas, sehingga para penasihRakyat at raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan kepemimpinan, sementara penguasaan colonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Rakyat ketakutan dan sulit menghadapi penindasan. Ini terjadi sampai abad ke-14.

Walaupun kerajaan terpisah menjadi dua kerajaan, tidak menyurutkan kerajaan Berau untuk tetap melawan penjajahan Belanda. Misalnya, ketika Pemerintah Kolonial  Belanda menjalankan politik adu dombanya untuk memecah belah persekutuan Kerajaan Berau yang terdiri dari Kesultanan Gunung Tabur dan Sambaliung. Akhirnya pada tahun 1800  kedua kesultanan tersebut memisahkan diri. Setelah peristiwa tersebut kemudian Belanda mendekati sultan Gunung Tabur, Aji Kuning II (1833-1850), putra sultan Badaruddin. Pemerintah tahu bahwa kedua kerajaan itu tidak terdapat kesatuan pendapat.

Kesultanan Sambaliung yang dipimpin Raja Alam dengan sekutu-kutunya mengerti dengan siasat licik Belanda, karena itu ia mengadakan persiapan dengan memperkokoh  persatuan antara rakyatnya dengan suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok. Raja Alam beristana di Batu Putih (sekarang Kecamatan Talisayan). Di daerah  itu banyak bermukim pejuang-pejuang Bugis yang disebut Belanda sebagai bajak laut. Persekutuan Raja Alam dengan suku Bugis dan Solok semakin erat, kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan Wajo. Yang memang  pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di Tanah Berau

Ada yang mengatakan penyebab terjadinya perang antara Kesultanan Sambaliung dan Belanda ialah dikarenakan ketika Belanda datang untuk melakukan hubungan dagang dengan membeli hasil bumi kerajaan. Pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan  Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung.

Kerajaan Gunung Tabur berada di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya Raja Kuning II, sedang Kerajaan Sambaliung  berada di tepi Sungai Kelay, dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan ini tak pernah  akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki oleh Belanda. Saat itu hubungan dagang antara Belanda Sambaliung berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang barang keramik dari Cina dan Eropa yang dibawa Belanda. Sedang dengan pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada  mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya.

Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya. Pihak Gunung Tabur dan Sambaliung yang tak pernah akur, akhirnya terlibat dalam satu pertikaian berdarah yang membawa mereka saling serang dan membunuh. Melihat keadaan demikian pihak Belanda merasa puas akan keberhasilan mereka melakukan politik adu domba dan pecah belah atas kedua kerajaan tersebut. Saling serang dan saling menghancurkan berjalan selama beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering terjadinya perampokan dan pembajakan atas kapal kapal dagang mereka di laut Selat Makasar dan Tanjung Mangkaliat. 

Namun secara diam-diam  pihak Raja Kuning II atau Gunung Tabur memanfaatkan situasi dengan memberi informasi pada Belanda kalau perampokan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kerajaan Sambaliung. Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan keterlibatan Sambaliung. Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal tersebut  adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak, sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah dirampok. Perampokan tersebut hanyalah karangan pihak Belanda saja yang ingin mengambil kesempatan pada situasi perang antar kedua kerajaan.

Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang-orang Bugis dan Solok.
Baik Raja Alam beserta segenap rakyatnya maupun pejuang-pejuang suku bangsa Bugis dan orang Solok, sudah bertekad bulat untuk tidak menerima bangsa Belanda sebagai “yang dipertuan” di tanah air mereka. 

Menurut pendirian dan kepercayaan mereka, bangsa Belanda adalah penjajah yang tergolong orang kafir. Selain perlawanan rakyat Nusantara, Belanda juga khawatir terhadap orang-orang Inggis yang bermaksud meluaskan pengaruhnya di Kalimantan Timur seperti James Brooke di Kalimantan Utara dan kemudian oleh Kapten Laut Inggris E. Belcher yang pada tahun 1834 dan 1848. Karena itu Belanda memberikan prioritas pertama untuk menundukkan Sambaliung yang bersekutu dengan pejuang-pejuang Bugis dan Solok.
Raja Alam mempunyai istana di Tanjung dan sebuah lagidi dekat Kampung Bugis di Tanjung Radeb sekarang. Di tempat ini ia dibantu oleh seorang panglima suku bangsa Bugis bernama Panglima Limbuti, keturunan Panglima Li Madu Daeng Pallawa yang mendirikan Kampung Bugis di Tanjung Radeb. Pertahanan yang kuat dibangun dekat laut di Batu Putih, Tanjung Manglihat, tempat gabungan suku bangsa Berau, uku bangsa Bugis, dan Solok pimpinan Sarif Dakula, menantu Raja Alam.  Armada Bugis dan Solok inilah yang dianggap berbahaya oleh Belanda.

Untuk menghancurkan armada kesultanan Sambaliung ini, pihak militer Belanda mempersiapkan angkatan lautnya yang sejak bulan April 1834 dengan perlengkapan persenjataan di markas angkatan lautnya di Makasar. Dengan dalih pengaduan Sutan Gunung Tabur Aji Kemuning II (Gazi Mahyudin), bahwa Raja Alam bersekutu dengan bajak laut Bugis yang menganggu ketertiban pelayaran di Berau, Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan Sultan Aji Kuning II. Pada bulan September 1834, Belanda mengirim ekspedisi guna menindak Raja Alam. Empat buah kapal perang yaitu Korvet Heldin, brik Syiwa, sekuner Korokodil, dan Kastor seta berpuluh-puluh perahu mendarat dibawah pimpinan Kapten Laut Anemaelt, menyerang pertahanan armada laut Raja Alam di Batu Putih.

Untuk menghadapi serangan Belanda, Raja Alam dengan sekutu-sekutunya dari suku bangsa Bugis dan orang-orang Solok dibawah pimpinan menantunya, Sarif Dakula, membuat kubu-kubu pertahanan, diantara Batu Putih, daerah Tanjung Mangkalihat yang menghadap arah ke laut dan ke darat, dan sebuah benteng di daerah pedalaman sepanjang 40x40 m, yaitu di Sungai Dumaring tidak jauh dari Batu Putih. Di Tanjung yang sekarang bernama Tanjung Radeb, Raja Alam dibantu oleh Panglima Bugis yang bernama Panglima Limbuto, keturunan Pamglima La Madu Daeng Pallawa. Kubu-kubu pertahanan mereka diperkuat dengan meriam-meriam besar dan kecil yang sampai sekarang masih ada di daerah Berau. Senjata api dibeli dari Singapura dengan perantaraan perahu-perahu Bugis.

Dengan perahu-perahu pendaratnya pasukan Belanda mengadakan serangan terhadap pertahanan Raja Alam di Batu Putih dengan dilindungi oleh tembakan meriam dari kapal-kapal perang Belanda. Pejuang-pejuang Sambaliung, Bugis dan Solok mempertahankan atu putih dengan gigih. Karena perlengkaan Belanda sudah dipersiapkan selama enam bulan di Makasar dan pasukannya telah berpengalaman dalam Perang Diponegoro dan Perang Imam Bonjol, maka Raja Alam terpaksa mengundurkan diri ke Tanjung untuk mempertahankan istananya. Ia dibantu oleh Panglima Limboto, putra Hadi, menantunya Sarif Dakula, dan orang-orang Bugis. Mereka bertahan di Sungai Dumaring, daerah Tanjung Mangkalihat.

Raja Alam dapat dikalahkan Belanda dan bertahan di Muara Lasan. Di tempat ini  Raja Alam  ditangkap Belanda dengan putranya Hadi, yang kemudian menjadi Sultan Hadi menggantikan ayahnya, Raja Alam. Raja Alam dan keluarganya dijadikan sandera oleh Belanda. Pimpinan tentara Belanda, Kapten Anamaelt meminta agar Sarif Dakula dan orang-orang Bugis menghentikan perlawanan dengan jaminan keselamatan Raja Alam dan kelurganya. Untuk itu diminta Sarif Dakula dengan pengikut-pengikutnya datang menghadap di kapal perang Belanda.

Ada dua versi cerita yang berbeda yang mengatakan mengenai Sarif  Dakula dan kelurganya datang ke kapal perang Belanda. 
Cerita yang pertama, ketika Sarif  Dakula berunding dengan tentara Belanda. Karena Sarif Dakula tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda, ia ditangkap dan diasingkan ke Makasar akan tetapi Sarif Dakula melakukan perlawanan , hingga akhirnya tewas. Mayatnya dibuang di laut. Melihat peristiwa itu, istrinya, Pangeran Ratu Ammas Mira yang sangat setia pada suaminya, melompat ke laut bersama-sama anaknya yang masih kecil. Akan tetapi  ia dan anaknya dapat diselamatkan. Karena Raja Alam dan keluarganya antara lain putranya, Hadi Jalaluddin, Pangeran Ratu Ammas Mira dianggap berbahaya oleh Pemeritah Kolonial Belanda, mereka diasingkan ke Makasar sebagai tawanan negara (staatgevangene). Adapun Sultan Bongkuch, salah seorang putra Raja Alam dapat melepaskan diri.

Versi yang kedua mengatakan bahwa Sarif Dakula datang bersama Raja Alam menghadap Belanda untuk melakukan perundingan, bukan bersama anak dan istrinya. Ketika itu, Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada anak istri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua.Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda. 

Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay. Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda  diputuskan dibuang ke Makasar. Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa dengan sebuah kapal kecil menuju muara dimana telah menunggu sebuah kapal perang yang akan membawa kedua tawanan ini ke Makasar.

Namun belum lagi sampai ke muara, kedua tawanan ini berontak dan melakukan perlawanan pada para pengawal yang membawanya. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedang Sarif Dakula menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya. Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula kehilangan tiga nyawa serdadunya.  Raja Alam pun terus dibawa dan dibuang ke Makassar  Sulawesi Selatan, yang juga merupakan markas besar Belanda untuk Indonesia Tengah dan Timur.

Selama Raja Alam dalam pembuangan di Makasar maka sejak tahun  1834, kerajaan Berau menjadi tidak aman. Pengikut-pengikut Sarif Dakula dan Pangeran Petta melakukan pengacauan di perairan Selat Makasr dan kampung-kampung di daerah Berau. Sungai Ulak dahulu bekas pusat pemerintahan Kerajaan Berau, dirampok oleh suku Bugis dan orang Solok. Kampung Pujut, wilayah Gunung Tabur, diserang suku bangsa Bugis dan Solok. Pemimpin pejuang suku bangsa Bugis ialah Tuassa dan pemimpin bangsa Solok yang mengadakan perlawanan terhadap kerajaan yang diakui Belanda sebagai jajahannya itu ialah Datu Kamsah.

Untuk mengatasai keadaan yang selalu tidak aman itu, Sultan Gunung Taabur meminta bantuan ipar Raja Alam, saudara istrinya yang menjadi pengeran mangkubuni Kerajaan Kutai dan memerintah di Batu Putih. Untuk menentramkan keadaan yang tidak ada kepastian itu, Sultan Gunung Tabur dan Pangeran Mangkubumi bersama-sama mengajukan permohonan kepada gubernur Belanda di Makasar, supaya Raja Alam dengan keluarga serta putra-putri dan cucunya dikembalikan ke Berau.

Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi mengambil keuntungan. Dengan dalih keamanan bersama, maka kedua kerajaan tidak dibenarkan menghimpun atau memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut penjagakeamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima puluh orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada di tangan Belanda.Permohonan ini kemudan disetujui oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 15 September 1836. Setahun kemudian, pada 24 Juni 1837, gubernur Belanda mengizinkan Raja Alam beserta kelurganya kembali  ke Batu Putih dengan ketentuan Raja Alam harus mengakui kedaulatan Belanda. Raja Alam kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Batu Putih ke Tanjung, daerah Kampung Bugis. Antara kedua kerajaan itu yaitu Gunung Tabur dan Sambaliung memang selalu terjadi peperangan. Karena Raja Alam tidak dapat memenuhi perjanjian yang didiktekan Belanda, maka ia harus kembali ke Batu Putih dan meninggal pada 7 Juli 1848. Ia dimakamkan di dekat Sungai Rindang, dekat Batu Putih.

Putranya, Sultan Hadi Jalaluddin yang diangkat Belanda sebagai sultan Salambiung sejak tahun 1844, meninggal pada tahun 1855. Pada akhir pemerintahannya, yang berpengaruh ialah saudaranya, Sultan Asyik Syarafuddin, putra Raja Alam dengan istrinya, putri dari Bugis yang menggantikannya pada bulan April 1850. Raja ini pada tahun 1852 berumur 38 tahun. Ia adalah seorang sultan yang berpengaruh, memerintah dengan tidak ada penguasa (rijkbestierder) di sampingnya. Sultan Bongkoch, putra Raja Alam yang sejak semua tidak dapat ditawan oleh Belanda, tetap tidak bersedia bekerjasama dengan Belanda dan terus berjuang mengadakan pengacauan bersama-sama pejuang Bugis dan Solok di perairan Berau, Laut Sulawesi dan Selat Makasar.

Sampai saat ini, bangunan Keraton Sambaliung masih berdiri kokoh menghadap ke Sungai Kelay di Kecamatan Sambaliung. Sejak dialihfungsikan menjadi Museum, Keraton Sambaliung sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat sejumlah koleksi peninggalan sejarah masa lalu. Untuk menghidupkan kembali dan melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tak ternilai harganya tersebut, keraton ini dipimpin oleh Pemangku Adat Keraton Kesultanan Sambaliung yang kini dijabat oleh Datu Fachruddin bin Sultan Muhammad Aminuddin.

Silsilah

Berikut ini adalah silsilah Kesultanan Sambaliung, namun data terkait tahun kekuasaaan para sultan masih banyak yang belum lengkap:

Sultan Muhammad Alimuddin/raja Alam (1810-1844)
Sultan Muhammad Kaharuddin/raja Bungkoh (1844-1848)
Sultan Muhammad Hadi Jalaluddin bin Alam (1848-1850)
Sultan Muhammad Hasyik Syarifuddin bin Alam (1850 - 1863)
Sultan Muhammad salehuddin (1863-1869)
Sultan Muhammad Adil Jalaluddin bin Muhammad Jalaluddin (1869 - 1881)
Sultan Abdullah Muhammad Khalifatullah Bayanuddin bin Muhammad Jalaluddin (1881-1902 ))
Sultan Muhammad Aminuddin (Datuk Ranik) (1902-1960 )

Periode Pemerintahan

Kekuasaan Kesultanan Sambaliung berdiri sejak tahun 1830 M hingga tahun 1960 M. Artinya kesultanan ini pernah eksis selama hampir satu setengah abad. Pada tahun 1960 M, bersama dengan Kesultanan Gunung Tabur, Kesultanan Sambaliung dihapuskan melalui keputusan parlemen Indonesia. Setelah itu, Kesultanan Sambaliung berubah nama menjadi Kecamatan Sambaliung. Sistem dan tata pemerintahannya pun tidak lagi berdasarkan pada model kesultanan, namun sudah beralih sebagaimana yang berlaku pada umumnya di Republik Indonesia. Untuk wilayah kekuasaanKesultanan Sambaliung sendiri sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Sambaliung meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Sambaliung.

Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau), Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda.
   
Peninggalan Kesultanan Sambaliung

Beberapa peninggalan yang cukup unik dan menarik untuk disaksikan, antara lain adalah sebuah tugu prasasti dari kayu ulin yang bertuliskan huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang berukir aksara asli (lontara) Suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Lontara Bugis ini menjadi bukti peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari keturunan Bugis-Wajo. Ketiga tugu tersebut berisi aturan-aturan bagi rakyat ketika akan melintasi keraton pada masa lalu. Tugu yang bertuliskan Arab-Melayu berisi pesan bahwa jika Sultan sedang duduk di depan rumah atau di depan lawang sakaping, maka setiap orang harus duduk dulu baru bisa melewatinya.

Sementara itu, dua buah tugu yang berukiran Lontara Bugis tersebut berisi 7 buah pesan, yaitu setiap orang harus duduk terlebih dahulu kemudian meneruskan langkahnya ketika Sultan sedang berada di depan pintu gapura, tidak diperbolehkan berselisih di dalam wilayah istana, tidak diperkenankan tertawa saat melihat istana dan dilarang duduk di jalanan depan istana, tidak boleh melihat-lihat ke dalam istana jika tidak ada keperluan, tidak boleh menutup atau memotong arah jalan perempuan di tengah jalan, seorang laki-laki yang akan menuju ke jalanan tidak boleh langsung memotong arah jalan, dan bagi siapa saja yang mengabaikan aturan-aturan tersebut maka dia dianggap telah meninggalkan peraturan yang ditetapkan oleh Petta Sultan La Mappata(ng)ka Sambaliung.

Koleksi lain dari Keraton Sambaliung yang menarik untuk dilihat adalah seekor buaya raksasa berukuran sekitar 4 meter yang telah diawetkan. Buaya yang telah diawetkan tersebut disimpan dalam akuarium kaca yang terletak di luar bangunan keraton. Namun, asal usul dan keterangan seputar buaya ini tidak disebutkan.

Selain koleksi peninggalan sejarah, masyarakat juga dapat menyaksikan berbagai kegiatan budaya di Keraton Sambaliung, seperti atraksi kesenian berupa Tari Jepen, Mamanda, dan syair-syair. Pada waktu-waktu tertentu, di tempat ini keluarga keraton juga tak jarang menyelenggarakan pesta budaya, seperti perkawinan yang dihiasi dengan pakaian adat dan pelaminan serba warna kuning. Selain itu, keraton ini juga sering digunakan untuk acara bapallasdalam upacara adat melahirkan serta upacara kematian kerabat sultan.
Bangunan keraton yang ada sekarang diperkirakan berdiri sekitar tahun 1881 M. Belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai siapa pendiri keraton yang terletak di tepi Sungai Kelay ini. Sejak terakhir ditempati oleh Sultan ke—8, Muhammad Aminuddin (1902 M- 1959M), Keraton Sambaliung tidak lagi tempati oleh para keturunan dan kerabat Sultan. Kini, bangunan keraton ini telah beralih fungsi menjadi museum yang dikenal dengan Museum Keraton Sambaliung.
Keraton Sambaliung dengan ciri arsitektur China terdiri dari 12 kamar dan 1 (satu) ruang utama di bagian tengah yang berfungsi sebagai tempat pertemuan. Secara umum, bangunan utama digunakan untuk menggelar upacara adat dan pemberian gelar bangsawan kepada para keturunan Sultan. Selain itu, keraton ini juga memiliki 4 buah taman kecil di mana tiga di antaranya berada di teras depan. Pada bagian tengah, kiri, dan kanan halaman keraton juga terdapat taman yang cukup luas dan tertata rapi. Di depan halaman keraton terdapat gapura dengan hiasan lambang Keraton Kesultanan Sambaliung di atasnya.
Pada masa revolusi fisik atau ketika diperintah oleh Sultan Muhammad Aminuddin, Keraton Sambaliung pernah dua kali terancam untuk dihancurkan. Pertama, Tentara Pendudukan Jepang yang menginvasi Indonesia antara tahun 1942-1945 berusaha menghancurkan bangunan keraton dengan cara membakar menggunakan bensin, namun cara ini gagal. Upaya penghancuran keraton yang kedua terjadi pada 23 April 1945 sekitar pukul 13.00 WITA. Kala itu, Belanda yang datang dengan seragam pasukan sekutu membombardir Keraton Sambaliung namun tidak berhasil.


 ‎Wilayah Kekuasaan

Sebelum menyatu dengan Kabupaten Berau, wilayah kekuasaan Kesultanan Sambaliyung meliputi daerah yang kini dikenal dengan nama Kecamatan Sambaliung.

Struktur Pemerintahan

(Dalam proses pengumpulan data)

Kehidupan Sosial-Budaya

Ketika Raja Alam masih memimpin, kehidupan sosial di Kesultanan Sambaliung terasa tenteram, aman, dan tidak ada konflik masyarakat berdasarkan suku, etnis, dan ras. Padahal, sejak saat itu, masyarakat Sambaliung sudah terdiri dari beragam suku, ada suku Banuwa (Berau), Basap, Bajau, dan Bugis. Raja Alam berhasil mempersatukan suku-suku tersebut. Bahkan, semua suku yang ada di Sambaliung, termasuk suku Dayak Kenyah, Modang, dan Punan di Sungai Kelay, bersatu padu dan ikut serta berjuang mempertahankan wilayah mereka dari serangan pasukan Belanda.  

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2005, tercatat jumlah penduduk Kecamatan Sambaliung adalah sebanyak 22.279 jiwa. Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah penduduk, yaitu rata-rata 1,4 persen. Komposisi penduduknya adalah 40 persennya sebagai pendatang dan selebihnya penduduk asli Sambaliung. Banyaknya jumlah pendatang ke daerah ini dikarenakan terdapat sumber daya alam yang cukup melimpah, seperti tambang batu bara, pertanian, perkebunan, perikanan, juga hasil-hasil hutan. Banyak penduduk Sambaliung bermata pencaharian dalam bidang bidang tersebut. ‎

Pulau derawan
Gambar pantai pulau derawan island tour kepulauan di kalimantan timur paket wisata berau open trip penginapan kaltim biaya backpacker maratua labuan cermin dimana keindahan hotel beachindah indonesia murah resort liburan 2018 balikpapan travel water villa paradise danau kakaban honeymoon cara perjalanan bandara cottage lapauta tarakan pesawat cafe peta gusung diving jakarta tempat dive harga dari samarinda sejarah tiket kita utara nabucco airport homestay transportasi akses accommodation lapauta harga snorkeling akhir ini daerah tujuan baru pengalaman objek borneo danau kota travel homestay jalan menuju rute harga tiket masuk alamat lokasi letak peta google map

pulau derawan terletak di Kepulauan Derawan, Kecamatan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Satuan morfologi Pulau Derawan adalah dataran pantai bertopografi datar. Pantai pasir memiliki kemiringan lereng sekitar 7° - 11° dengan lebar 13,5 - 20 meter.

Pulau Derawan telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2005.

Di perairan sekitarnya terdapat taman laut dan terkenal sebagai wisata selam (diving) dengan kedalaman sekitar lima meter. Terdapat beraneka ragam biota laut di sini, diantaranya cumi-cumi (cuttlefish), lobster, ikan pipa (ghostpipe fish), gurita (bluering octopus), nudibranchs, kuda laut (seahorses), belut pita (ribbon eels) dan ikan skorpion (scorpionfishes).

Pada batu karang di kedalaman sepuluh meter, terdapat karang yang dikenal sebagai "Blue Trigger Wall" karena pada karang dengan panjang 18 meter tersebut banyak terdapat ikan trigger (red-toothed trigger fishes).

Kepulauan Derawan


Kepulauan Derawan adalah sebuah kepulauan yang berada di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Di kepulauan ini terdapat sejumlah obyek wisata bahari menawan, salah satunya Taman Bawah Laut yang diminati wisatawan mancanegara terutama para penyelam kelas dunia.

Kepulauan Derawan memiliki tiga kecamatan yaitu, Pulau Derawan, Maratua, dan Biduk Biduk, Berau.

Sedikitnya ada empat pulau yang terkenal di kepulauan tersebut, yakni Pulau Maratua, Derawan, Sangalaki, dan Kakaban yang ditinggali satwa langka penyu hijau dan penyu sisik.

Secara geografis, terletak di semenanjung utara perairan laut Kabupaten Berau yang terdiri dari beberapa pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Raburabu, Pulau Samama, Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, Pulau Nabuko, Pulau Maratua dan Pulau Derawan serta beberapa gosong karang seperti gosong Muaras, gosong Pinaka, gosong Buliulin, gosong Masimbung, dan gosong Tababinga.

Di Kepulauan Derawan terdapat beberapa ekosistem pesisir dan pulau kecil yang sangat penting yaitu terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau (hutan mangrove). Selain itu banyak spesies yang dilindungi berada di Kepulauan Derawan seperti penyu hijau, penyu sisik, paus, lumba-lumba, kima, ketam kelapa, duyung, ikan barakuda dan beberapa spesies lainnya.

Kepulauan Derawan telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2005.

Potensi Kepulauan Derawan

Terumbu karang

Terumbu karang di Kepulauan Derawan tersebar luas pada seluruh pulau dan gosong yang ada di Kepulauan Derawan. Gosong-gosong yang ada di kepulauan ini diantaranya Gosong Pulau Panjang, Gosong Masimbung, Gosong Buliulin, Gosong Pinaka, Gosong Tababinga dan Gosong Muaras.

Tipe terumbu karang di Kepulauan Derawan terdiri dari karang tepi, karang penghalang dan atol. Atol inilah yang telah terbentuk menjadi pulau dan terbentuk menjadi danau air asin. "Survei Manta Tow 2003" menunjukkan tutupan rata-rata terumbu karang di Pulau Panjang adalah 24,25% untuk karang keras dan 34,88 untuk karang hidup. Terumbu karang di Pulau Derawan memiliki tutupan rata-rata karang karang keras 17,41% dan tutupan karang hidup 27,78%. Dengan jumlah spesies 460 sampai 470 menunjukkan bahwa ini menjadi kekayaan biodiversitas nomor dua setelah Kepulauan Raja Ampat.
Areal terumbu karang yang utama :
  • Pulau Panjang bagian barat (inlet dan channel)
  • Karang Muaras dengan diversitas tinggi, karang sehat, dan nilai estetika
  • Karang Malalungun, diversity tinggi dengan struktur yang kompleks dengan berbagai habitat
  • Karang Besar yang kaya habitat .

 

Ikan karang

Survei ikan karang tahun 2003 menunjukkan bahwa kepulauan ini menghasilkan 832 spesies. Selain itu, diperkirakan sedikitnya 1.051 spesies terdapat di perairan Berau dengan jenis dominan Gobes (Gobiidae), Wrasses (Labridae), dan Damselfishes (Pomacentridae).

 

Padang lamun

Padang lamun ditemukan tersebar di seluruh Kepulauan Derawan dengan kondisi yang berbeda dengan rata-rata luas tutupan kurang dari 10% sampai 80%. Ekosistem ini secara ekologi dan ekonomi sangat penting tapi keberadaannya terancam oleh gangguan dan kegiatan manusia seperti pembukaan hutan besar-besaran, kebakaran hutan, budidaya laut, sedimentasi, baling-baling perahu, dan lain-lain. Di Pulau Derawan terdapat dua jenis lamun yang dominan Thalasia hemprichii dan Halophila ovalis serta empat spesies lamun lain yang ditemukan di sekeliling pulau yaitu Halodule uninervis, Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia.

 

Mangrove

Mangrove di kawasan Delta Berau dimanfaatkan masyarakat secara tradisional sebagai sumber mata pencaharian keluarga, seperti menangkap ikan, udang, dan kepiting. Dalam sepuluh tahun terakhir, mangrove di Berau telah banyak dikonservasi menjadi tambak udang dan ikan dengan laju pembukaan lahan yang cepat. Nipah (Nypa fructican) mendominasi komposisi jenis mangrove di kawasan Delta Berau. Hasil kajian evaluasi ekonomi dan konservasi mangrove menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan mangrove memberikan manfaat langsung sebesar AS$ 295.78/ha/th, manfaat tidak langsung AS$ 726.26/ha/th, manfaat pilihan AS$ 358.46/ha/th, manfaat bersih AS$ 1,395.50/ha/th.

 

Perikanan tangkap

Kegiatan perikanan yang ada di Kecamatan Derawan dan Maratua meliputi perikanan laut, pengambilan telur penyu, dan budidaya tambak. Hasil penangkapan perikanan laut Kecamatan Kepulauan Derawan merupakan penyumbang terbesar pendapatan Kabupaten Berau dari lima kecamatan yang punya aktivitas penangkapan perikanan laut.

Aktivitas ini pada tahun 2001 menyumbang Rp. 37.907.680,00. Jumlah kapal penangkapan ikan yang ada di Kecamatan Derawan dan Maratua tahun 2001 sebanyak 426 dengan jumlah perahu tanpa motor sebanyak 256 unit. Alat tangkap yang ada di Kecamatan Derawan dan Maratua adalah payang (pukat kantong) 74 unit, purse sein (pukat cincin) 14 unit, jaring insang 282 unit, jaring angkat 30 unit, pancing 139 unit, perangkap 66 unit dan alat pengumpul 13 unit.

 

Kegiatan ekonomi

Kegiatan perikanan merupakan tulang punggung kegiatan yang ada di Pulau Maratua dan Derawan sebab sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Perikanan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Pulau Maratua dan Derawan adalah ikan pelagis dan ikan karang. Hasil penjualan ikan secara umum dijual di Pulau Derawan dan Maratua, Tanjung Redeb, Surabaya dan beberapa kota luar propinsi yang melewati pengumpul yang cukup besar, bahkan sering dimasukkan kepada eksportir yang kemudian dijual ke konsumen di luar negeri.

 

Potensi kawasan konservasi

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Berau telah direncanakan kawasan konservasi pulau-pulau kecil di Kepulauan Derawan. Potensi kawasan konservasi ini dilihat dari keanekaragaman hayati yang ada di kepulauan ini antara lain satwa endemik, dan tempat-tempat penting lain. Selain memiliki beberapa ekosistem tropis yang terdiri dari ekosistem terumbu karang, ekosistem lamun, dan ekosistem mangrove, Kepulauan Derawan juga punya spesies yang dilindungi dan khas.

Spesies itu diantaranya ketam kelapa (Birgus latro), paus, lumba-lumba (Delphinus), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Erethmochelys fimbriata), dan dugong (Dugong dugon). Ketam kelapa dapat ditemukan di Pulau Kakaban dan Maratua. Paus dapat ditemukan di sekitar Pulau Maratua pada musim tertentu sedangkan lumba-lumba di sekitar Pulau Semama, Sangalaki, Kakaban, Maratua, dan Gosong Muaras. Penyu dapat ditemukan di sekitar Pulau Panjang, Derawan, Semama, Sangalaki dan Maratua serta Dugong di Pulau Panjang dan Semama. Spesies unik lain adalah Pari Manta (Manta birostris) yang terdapat di Pulau Sangalaki dan Pigmy Seahorse di Pulau Semama dan Derawan.


 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku yang terbuang

Asslamualaikum wr.wb.   Selamat siang menjelang malam kali ini saya akan membuat novel yang judulnya adalah "BUKU YANG TERBUANG ...